Senin, 11 Juli 2011

Asal Mula Singaraja

Dahulu kala di Pulau Bali, tepatnya di daerah Klungkung hiduplah seorang Raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai istri yang cukup banyak. Istri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya.

Kesedihannya agak berkurang berkat kasih sayang Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki yang dinamai I Gusti Gede Pasekan.

Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa.

Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya.

Anakku,” kata Kyai Jelantik Bogol, ”Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.

Mengapa saya harus pergi kesana, Ayah?

Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.

Baiklah, Ayah. Saya akan pergi kesana.

Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, ”I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.

Baik, Ayah!

Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot.

Setelah empat hari berjalan, tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Disana mereka bermalam. Malam itu I Gusti Gede Pasekan dan ibunya dijaga ketat oleh para pengiringnya secara bergiliran.

Tengah malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya. Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kearah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suatu bisikan.

I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.

I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa pada suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas.

Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu.

Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya.

Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat.

Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggeparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.

Nahkoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.

Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.

Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu kelautan?

Seorang anak muda, namun sakti dan perahu wibawa.” jawab tetua kampung.

Siapa namanya?

I Gusti Gede Pasekan!

Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Ia berkata, ”Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kamu, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.

Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.

Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudia muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu.

Tuan apa yang harus hamba kerjakan?

Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!

Baik Tuan!

Dengan bantuan dua makhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah.

Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.

Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar kemana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu Kerajaan baru di daerah Den Bukit.

Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibukota Kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.

Semakin hari Kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangan digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

Nama itu menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang Raja yang seperti singa gagah perkasa. Hal ini dikarenakan I Gusti Panji Sakti memang dikenal sebagai sosok yang sakti dan gagah berani. Jika ada gerombolan bajak laut atau perampok yang mengacau, sang Raja turut maju ke medan perang bersama prajuritnya, karena itu tepatlah jika istananya disebut Singaraja.

Ada pula yang mengatakan bahwa Singaraja berarti "tempat persinggahan raja"’. Konon, ketika istananya masih ada di Sukasada, raja sering singgah disana. Dengan demikian, kata Singaraja berasal dari kata Singgah Raja.

Legenda asal-usul kota Buleleng dan kota Singaraja ini dipercaya penduduk Bali benar-benar pernah terjadi.

Ibu Panji Sakti berasal dari kasta Sudra, yakni kalangan rendah pada masyarakat Hindu-Bali. Hal ini sangat menarik, sebab seseorang yang berasal dari kalangan rendah dapat menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan mulia karena perjuangan dan usahanya yang keras meraih cita-cita.

Asal Usul Pohon Sagu dan Palem

Pohon sagu dan palem merupakan jenis tanaman dataran rendah tropik yang banyak ditemukan tumbuh liar di kawasan hutan Dolo, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, asal usul kedua jenis pohon ini berasal dari tubuh manusia atau penjelmaan manusia. Hal ini dikisahkan dalam sebuah legenda yang hingga kini masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat setempat. Bagaimana manusia dapat menjelma menjadi pohon sagu dan palem? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Usul Pohon Sagu dan Palem berikut ini!

Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang tersedia di sekitar mereka.

Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.

“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini terus,” ungkap sang Suami.

Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.

“Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan untuk berkebun?” tanya sang Istri.

“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan,” jawab sang Suami.

“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo. Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular tidak mengganggu mereka.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.

“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?”

“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang Suami.

Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi lebih baik suatu hari kelak.

“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri kembali bertanya.

“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.

“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.

“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.

Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat setelah hampir seharian bekerja.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.

“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu kepada anaknya.

“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.

“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya hari itu.

“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”

“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami.

Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.

Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon. Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak terwujud.

“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.

Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya. Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.

Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam sebuah telaga.

Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.

“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik tangan anaknya.

“Baik, Ayah!” jawab anaknya.

Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati telaga.

“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.

“Ibu..., Ibu.... Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.

“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia kembali,” bujuk sang Ayah.

“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.

Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.

Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua perbuatannya.

“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.

Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.

Asal Usul Pulau Belitung

ALKISAH, pada zaman dahulu, di Pulau Bali memerintahlah seorang raja yang adil dan bijaksana. Karena bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani dan disayangi rakyatnya. Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai pelosok. Hingga setelah menginjak dewasa, banyak pemuda daerah lain hendak melamarnya untuk dijadikan istri. 

Suatu hari di antara para pemuda yang datang melamar itu terdapatlah seorang putra mahkota. Namun apa hendak dikata, lamaran itu ditolak putri sang Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah yang terjadi hingga lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak sang putri.
“Mengapa putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.
Karena penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan menanyakan langsung kepadanya.
Pada satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya. “Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran yang datang?” tanya sang permaisuri.
Ditanya demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati, sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.
Ditanya demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya. Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita penyakit kelamin.
Mendengar jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana.
“Hai hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan dengan putriku,” perintah baginda.
Disebarkanlah pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah utara Pulau Bali.
Setelah segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan, sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat tersebut.
Sebetulnya di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup.
Suatu hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang, anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri. Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi. Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.
Sudah menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung.
Ketika rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak, sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan si Tumang.
Begitu kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi putrinya itu.
Setelah beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik baginda.
Dengan kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara.
***
ADALAH Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing ikan menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing nampak sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.
Dalam keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar pulau hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut, Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali sauh pada potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri, red.). Setelah mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’ Malim Angin segera menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan jangkarnya ke laut. Seketika pulau hanyut itu pun berhenti. Namun, karena baru terikat pada satu tiang, pulau itu terus berputar.
Melihat pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun berlari ke arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung Datu’ Malim Angin berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon waru, red.), lalu menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi berhenti. Setelah itu barulah pulau hanyut tersebut berhenti berputar.
Secara turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara lisan di masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitong.
Konon, gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya dikenal dengan Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong. Gunung ini, oleh mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang Selatan Pulau Belitung. Dan, juga menurut mereka yang percaya, sampai sekarang Datu’ Malim Angin masih ‘mendiami’ / menguasai gunung tersebut. Sedang gunung kedua, adalah Gunung Burung Mandi.